Hukum Sholat Sendiri di Belakang Shof

sholat-ahlu-sunnahKetika seseorang masuk masjid, namun ternyata shaf sudah terisi penuh dan tidak menemukan tempat, apakah ia shalat di belakang shaf sendirian, ataukah menarik seseorang untuk berdiri bersamanya, ataukah menunggu orang lain datang?

Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Berikut kami sampaikan perbedaan pandangan ulama, selanjutnya kami sebutkan mana pendapat terbaik.

Read More

Pendapat Pertama, shalat sendirian di belakang shaf terhitung satu shaf dan shalatnya sah. Inilah pendapat jumhur, seperti dituturkan Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid. Di antaranya Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah. (Bidâyatul Mujtahid; I/187)

Di antara dalil mereka ialah hadits Abu Bakrah, disebutkan bahwa ia rukuk di belakang shaf, lalu ia melangkah menuju shaf. (HR. Bukhari) Al-Baghawi menjelaskan, “Ada beberapa permasalahan fiqh yang terkandung dalam hadits ini, di antaranya orang yang shalat sendirian di belakang shaf mengikuti shalat imam, shalatnya sah, karena Abu Bakrah rukuk di belakang shaf, dan melakukan sebagian shalat di belakang shaf, namun Nabi ntidak memerintahkan untuk mengulang shalat. Beliau hanya memberitahu yang lebih utama untuk dilakukan pada kesempatan-kesempatan berikutnya, ‘Jangan kau ulangi lagi.’ Larangan ini bermaksud memberitahu, bukan larangan mengharamkan. Andai bermakna larangan, tentu beliau perintahkan Abu Bakrah untuk mengulang shalat kembali’,” (Syarhus Sunah, Baghawi; III/338).

Pendapat Kedua, shalat sendirian di belakang shaf batal. Ini pendapat Imam Ahmad, salah satu riwayat dari Imam Malik, seperti disebutkan dalam Al-Ifshâh, Ibnu Hubairah.392Pendapat ini dianut sejumlah fuqaha dan ahli hadits. (Al-Ifshâh; I/54)

Para pengusung pendapat ini bersandar pada hadits Wabishah bin Ma’bad, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang shalat di belakang shaf sendirian, lalu beliau menyuruhnya untuk mengulang shalat kembali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Hadits ini diperkuat hadits Ali bin Syaiban, ia mengatakan, “Kami bepergian, kemudian kami menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Kami berbaiat kepada beliau dan kami kemudian shalat di belakang beliau. Seusai shalat, beliau melihat seseorang shalat di belakang shaf seorang diri. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di dekat orang itu hingga ia usai shalat, lalu beliau bersabda:

اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ

‘Perbaiki shalatmu, karena tidak ada shalat bagi yang shalat di belakang shaf’.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Abdullah bin Ahmad setelah menukil hadits Wabishah dalam Al-Musnad mengatakan, “Ayahku menganut hadits ini.” (Al-Musnad; IV/228)

Pendapat Ketiga, merinci, yaitu jika ia menemukan tempat di shaf, tapi tetap shalat sendirian, shalatnya tidak sah, namun jika setelah berusaha tetap tidak menemukan tempat di shaf, ia boleh berdiri sendirian di belakang.

Pendapat ini dianut Hasan Al-Bashri, seperti disebutkan dalam Al-Mushannafbkarya Ibnu Abi Syaibah dan Al-Buwaithi, seperti disebutkan Ays-Syaukani dalam Nailul Awthârdan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughnî.

Pendapat ini juga dianut dan diperkuat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seperti disebutkan dalam Al-Fatâwâ, Al-Qawâ’id An-Naurâniyyahdan Al-Masâ`il Al-Mardiniyyah. Demikian halnya dengan Ibnul Qayyim. Pendapat ini juga dipilih Syaikh Abdurrahman As-Sa’di. Semoga Allah merahmati mereka semua. (Al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah; II/193, Nailul Awthâr; III/229, Al-Mughni; III/56, Majmû’ Fatâwâ Ibnu Taimiyah; 21/397, A’lâmul Muwaqqi’în; II/21-22)

Inilah pendapat terbaik, insya Allah, karena sejumlah alasan berikut: Ulama sepakat, kewajiban-kewajiban dan rukun-rukun shalat gugur ketika tidak mampu dikerjakan. Ketika tidak mampu, kewajiban tidak berlaku, dan tidak ada yang namanya haram ketika berada dalam situasi darurat. Ini merupakan salah satu kaidah syariat terbesar.

Berdiri adalah rukun dalam shalat fardhu. Saat seseorang tidak mampu berdiri, ia boleh shalat dengan duduk. Seperti itu juga dengan rukuk, sujud, dan lainnya. Shalat bersama jamaah dalam shaf, bukan merupakan bagian dari rukun ataupun kewajiban shalat. Seperti diketahui, tidak biasa bergabung dalam shaf merupakan uzur, dan seperti disebutkan dalam kaidah paten bersumber nash-nash syariat, hukum bisa berubah ketika ada uzur menimpa seseorang. Orang yang tidak tahu arah kiblat, boleh shalat ke arah mana saja, tanpa harus mengulangi lagi shalat ketika menemukan sesuatu untuk menutupi badan, atau mengetahui arah kiblat dengan jelas setelah shalat dikerjakan. Dan begitu seterusnya.

Dalil-dalil umum syariat menguatkan pendapat ini, seperti firman Allah Ta’ala, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghâbun: 16)

Pendapat ini mengompromikan dalil-dalil terkait. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Karena tidak ada shalat bagi orang yang shalat di belakang shaf” diartikan ketika seseorang lalai untuk menunaikan kewajiban bergabung dalam shaf dan menutup celah shaf yang ada. Sementara jika seseorang tidak menemukan celah, hadits ini tidak diberlakukan baginya, berdasarkan dua alasan yang telah kami sebut sebelumnya, di samping karena ia tidak lalai, sehingga shalatnya tetap sah, insya Allah. Wallâhu a’lam bis shawab!

Sumber:
Kitab Al-Jâmi’ Li Ahkâmish Shalâh Wa Shifatu Shalâtin Nabiy Shalallâhu ‘Alaihi Wa Sallam, karya Abu Abdirrahman Adil bin Sa’ad

Sumber Artikel : Kiblat.Net

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *