Koridor Syariat Dalam Bermadzhab

Salah satu cara untuk mempelajari fikih adalah dengan cara mempelajari fikih madzhab, tapi bukan berarti itu mengajarkan kita untuk fanatik terhadap satu madzhab tertentu, yang benar adalah apa yang sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits kita amalkan dan apa yang tidak sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits kita tinggalkan.

Rambu pertama: Harus diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan sarana kawan dan musuh sehingga bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak mengikuti madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan kami.

Read More

Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bid’ah) berprinsip bahwa satu person dijadikan sebagai tolak ukur teman dan lawan. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar wala’ dan baro’ (kawan dan lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum muslimin.

Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, ‘Amr atau yang lainnya.

Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah pendapat imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:

1- Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.

2- Berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.

3- Membela madzhab secara over-dosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.

4- Mendudukkan imam madzhab seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [1]. (Lihat Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 501-503)

Semoga Allah memberikan taufik dan kemudahan bagi kita untuk mempelajari ilmu diin ini karena kebahagiaan di dunia dan akhirat hanya diraih melalui ilmu agama. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

 

Baca pula artikel menarik di Rumaysho.com:

Riyadh-KSA, 20 Rabi’ul Awwal 1434 H

www.rumaysho.com

 


[1] Ibnu Taimiyah mengatakan,

أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ

“Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.” (Majmu’ Al Fatawa, 35: 121)

 

Sumber : Rumaysho.com

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *