Ringkasan Fikih Ramadhan (3)

marhaban-yaa-ramadhanBerbuka Karena Sedang Menjalani Pengobatan

Lembaga fikih Islam internasional memutuskan bahwa hal-hal berikut bukan termasuk pembatal puasa:

1. Memasukkan air ke mata, ke telinga atau mencuci telinga dan berkumur-kumur selama tidak ditelan melalui kerongkongan.

2. Meletakkan sesuatu di bawah lidah untuk terapi atau yang lainnya selama itu tidak melewati kerongkongan, bila hendak masuk ke kerongkongan hendaknya diludahkan.

3. Sesuatu yang masuk ke vagina, mencucinya atau jari yang dimasukkan oleh dokter untuk memeriksa kehamilan.

4. Alat-alat medis yang dimasukkan ke dalam rahim.

5. Sesuatu yang masuk ke uretra, uretra laki-laki maupun perempuan, baik tabung, teleskop, suntikan, obat atau yang lainnya.

6. Menambal gigi, mencabut gigi, membersihkan gigi, bersiwak atau sikat gigi, jika ia tidak menelan sesuatu pun melalui kerongkongannya. Bila ada sesuatu yang ingin tertelan, hendaknya ia meludahkannya.

7. Berkumur-kumur dan mencuci mulut selama tidak ada yang masuk ke kerongkongan.

8. Suntik pengobatan, kecuali suntikan yang mengenyangkan.

9. Menghirup oksigen.

10. Sesuatu yang masuk melalui kulit, seperti krim, salep, ataupun obat-obatan lainnya.

11. Memasukkan alat-alat medis melalui dinding perut untuk memeriksa usus atau operasi.

12. Mengambil sampel dari jantung atau anggota tubuh lainnya selama tidak membahayakan dan dapat memberikan solusi.

13. Memasukkan sesuatu atau sarana-sarana pengobatan ke otak atau sum-sum belakang.

14. Mutah tanpa disengaja.

15. Donor darah, baik ia yang mendonorkan atau ia yang menerima donor darah.

16. Operasi, selama pasien meniatkan puasa di malam harinya.

Diwasiatkan kepada para dokter muslim untuk menasihati pasiennya guna menunda pengobatan-pengobatan yang telah disebutkan di atas bila tidak membahayakannya hingga setelah berbuka.

Hubungan Suami Istri di Bulan Ramadhan

Seorang yang berpuasa diperbolehkan untuk mecium istrinya dan memeluknya. Akan tetapi ia harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Mengisap air liur (bermain air ludah suami istri). Hal ini dapat membatalkan puasa dan wajib mengqodho’ bagi pelakunya.

2. Hati-hati jangan sampai keluar air mani disebabkan bercumbu antara suami istri karena itu dapat merusak puasa berdasarkan pendapat mayoritas ulama fikih, meskipun ada di antara mereka yang tidak sependapat.

3. Menahan syahwatnya untuk tidak melakukan senggama (bersetubuh), karena bersetubuh bagi orang berpuasa di bulan Ramadhan adalah maksiat besar dan wajib atasnya qadha’ dan membayar kaffarah. Maka bagi yang tidak dapat menahan nafsunya hendaknya menjauhi untuk mencium istrinya atau yang semisalnya. Adapun bagi yang mampu mengendalikan dirinya, maka ia boleh melakukan hal itu.

Perkara Pembatal Puasa

Perkara yang membatalkan puasa dan berdosa bagi pelakunya serta wajib membayar qodho’ dan kaffarah adalah jima’ (bersetubuh), tidak ada yang lain. Bagi seorang istri kaffarah seperti kaffarah bagi suaminya. Sebagian ulama berpendapat tidak wajib kaffarah bagi seorang istri, namun jumhur berpendapat baginya kaffarah, yaitu memerdekan seorang budak. Bila tidak mampu, maka ia harus puasa 60 hari. Bila tidak mampu juga ia harus memberi makan 60 orang miskin. Sebagian ulama, diantaranya Ibnu Hazm berpendapat bahwa ia hanya wajib membayar kaffarah, tidak dengan qadho’. Dan ini adalah pendapat yang rojih.

Adapun perkara yang membatalkan puasa dan wajib baginya membayar qadho’ saja, dan tidak berdosa bagi pelakunya serta tidak wajib membayar kaffarah adalah haid dan nifas, meski waktu datang haid dan nisfasnya sesaat sebelum tenggelamnya matahari.

Sedangkan perkara yang membatalkan puasa dan wajib baginya qadho serta berdosa bagi pelakunya, namun tidak wajib membayar kaffarah adalah makan dan minum, merokok, mengeluarkan air mani secara langsung ataupun dengan onani di siang hari.

Dan perkara yang membatalkan puasa dan hanya wajib baginya qadho’ tanpa berdosa dan tanpa membayar kaffarah adalah memakan obat melalui mulut dengan meminumnya, mengemutnya atau menelannya.

Perkara yang Tidak Membatalkan Puasa

Perkara-perkara yang tidak membatalkan puasa sangatlah banyak, sulit untuk dihitung. Yang mungkin dihitung adalah pembatalnya. Perkara yang membatalkan puasa adalah makan dan minum serta semisalnya, obat yang dikonsumsi melalui mulut dan jima’ (bersetubuh). Sebagian ulama ada yang menambahkan perkara pembatal puasa, sebagaimana telah disebutkan di atas.

Adapun perkara yang tidak membatalkan puasa sangat banyak. Al-‘Alamah Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla 300/6301 berkata, “Berbekam tidak membatalkan puasa, tidak juga mimpi, mutah tanpa disengaja, sesuatu yang keluar dari kerongkongan tanpa disengaja, darah yang keluar gigi ataupun gusi selama tidak disengaja, suntik, air yang masuk ke telinga, berkumur-kumur dan masuk ke kerongkongan tanpa disengaja ataupun minyak wangi dan lalat yang masuk ke kerongkongannya dengan tanpa disengaja, bersiwak baik basah ataupun kering, mencicipi makanannya selama tidak sengaja menelannya, obat-obatan, makanan yang menyelip di sela-sela gigi. Hal tersebut tidak membatalkan puasa meskipun dilakukan di siang hari. ”

Tidak membatalkan puasa dengan menelan air liur meskipun banyak dan meski dilakukan dengan sengaja. Sebagaimana dirajihkan oleh Imam Malik dan Syaikh Utsaimin. Akan tetapi diharamkan menelan air liur bila membahayakannya atau jijik. Dan kami berpendapat bahwa landasan dalam hal itu adalah kedokteran, bila diharamkan menelannya karena bahaya maka itu haram atau dimakruhkan, sesuai dengan tingkat bahayanya.

Bila ada sesuatu yang menyelip di gigi lalu ia tertelan tanpa disengaja dan sulit untuk mendeteksinya maka kedudukannya ia seperti air liur, dan tidak membatalkan puasa. Bila sesuatu itu banyak dan mungkin untuk dilepehkan (diludahkan) maka melepehkannya tidak mengapa dan jika menelannya dengan sengaja maka dapat merusak puasanya.

Dalam fatwa Darul Ifta’ Saudi dijelaskan, “Bila terjadi luka di gusinya dan berdarah karena bersikat gigi maka tidak boleh menelan darahnya dan ia harus mengeluarkannya. Bila ada yang masuk melalui kerongkongannya tanpa disengaja maka tidak mengapa. Begitu pula menghirup air, seperti pekerja yang menghirup air untuk memancing aliran air, maka tidak membatalkan puasa.”

Bila orang berpuasa dalam keadaan junub dan mengakhirkan mandinya hingga pagi hari maka hal itu tidak membatalkan puasanya, akan tetapi hendaknya ia menyegerakan mandi supaya dapat melaksanakan shalat shubuh. Dan apabila orang berpuasa bermimpi dan junub maka tidak batal puasanya berdasarkan kesepakatan ulama.

Lupa dan Salah Ketika Puasa

Barangsiapa makan dan minum karena lupa maka berarti Allah telah memberinya makan dan minum dan tidak ada dosa baginya, serta tidak wajib membayar qodho’ dan kaffarah, baik puasa sunnah atau wajib.

Barangsiapa yang mengira matahari telah tenggelam lalu ia berbuka dan ternyata ia salah, maka jumhur ulama berpendapat bahwa ia harus mengqodho’nya. Namun yang rajih, ia tidak wajib mengqodho’nya. Sebagaimana pendapat yang rajih pula, orang yang bersahur sementara ia mengira belum terbit fajar dan ternyata dia salah, maka ia juga tidak wajib qadho’ meskipun jumhur ulama mewajibkan untuk mengqodho’ dalam dua kondisi tersebut. Dan tidak ada bedanya antara makan karena lupa dengan jima’ (bersetubuh) karena lupa.

Seorang muslim hendaknya makan hingga yakin akan waktu fajar. Bila ia ragu, apakah sudah terbit fajar atau belum maka ia boleh makan hingga ia yakin. Telah diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Abbas berkata, “Allah telah menghalalkan bagimu makan dan minum selama engkau ragu.” Itu adalah madzhabnya jumhur dan hujjahnya Syikhul Islam dan dikuatkan oleh atsar shahabat.

Barangsiapa yang melakukan hal-hal yang merusak puasa karena bodoh (tidak mengetahuinya) maka tidak merusak puasanya bila dilakukan oleh orang yang baru masuk Islam, namun tidak berlaku untuk selainnya.

Darah dari gusi tidak membatalkan orang yang berpuasa selama tidak dengan sengaja menelannya.

Maksiat dan Puasa

Puasa tanpa shalat adalah kebaikan yang beriringan dengan dosa besar, dan kejelekan tidak akan menghapus kebaikan. Adapun bagi orang yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, maka orang yang meninggalkan shalat tidak diberi pahala, meskipun ia berpuasa karena ia akan menghadap Allah dalam keadaan kafir.

Sebagian salaf berpendapat bahwa maksiat lisan seperti ghibah, maksiat telinga seperti mendengar ghibah, maksiat mata seperti melihat hal-hal yang diharamkan dan maksiat tangan dan kaki, semuai itu termasuk perusak puasa. Namun jumhur berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan puasa, hanya saja mereka sepakat bahwa kemaksiatan dapat menghapus pahala puasa. Cukup untuk memotivasi sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya, maka Alalh tidak butuh untuk ia meninggalkan makanan dan minumannya,” hadits diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah.

Puasa dan Niat

Niat adalah syarat dalam berpuasa. Dalam puasa ada dua syarat, yaitu:

1. Berazzam dalam hati untuk berpuasa, yaitu niat untuk beribadah.
2. Ikhlash

Keduanya harus ada pada orang yang berpuasa, bila yang pertama tidak terpenuhi maka tidak ada puasa baginya. Begitu pula bila syarat kedua tidak terpenuhi maka baginya tidak ada pahala meskipun syarat yang pertama telah terpenuhi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah merajihkan pendapat bahwa orang belum yakin apakah hari esok sudah memasuki Ramadhan atau belum? seperti orang yang tidur sebelum terlihatnya hilal, maka ia cukup meniatkan bahwa dirinya ingin berpuasa besok bila sudah memasuki Ramadhan, dan jika belum memasuki Ramadhan maka ia berbuka.

Dan menyiapkan sahur adalah bagian dari niat, dan malafalkan niat tidaklah dianjurkan.

Niat sebelum fajar adalah diharuskan, terutama dalam puasa Ramadhan, nadzar, kaffarat, qadho’ puasa ramadhan dan semua puasa yang hukumnya wajib dan tidak sah niat dilakukan setelah fajar pada puasa-puasa tersebut.

Niat dalam puasa sunnah lebih fleksibel dari pada puasa wajib. Seseorang boleh meniatkan puasa sunnah ketika dzhuhur atau di pertengahan hari, hanya saja waktu sebelum niat tidak mendapatkan pahala. Adapuan orang yang berkata, “Saya akan berpuasa bila di rumahku tidak ada makanan” maka hal itu diperbolehkan sebagaimana pendapat ini dipegangi oleh sebagian pengikut Syafi’i.

Para ulama berbeda pendapat, apakah menolak berniat puasa dapat membatalkan puasa atau tidak? Ada yang berpendapat bahwa menolak niat bukan dari pembatal puasa, tapi ini adalah salah karena hal itu merupakan bagian dari pembatal dan perusak puasa.

Adapun dari sisi pahala, ada sebuah hadits yang menjelaskan bahwa, “Setiap orang tergantung pada niatnya“, dan ini tidak meniatkan berpuasa, lalu bagaimana akan diberi pahala?

Dan mengumpulkan antara dua niat puasa wajib, seperti niat puasa qadho’ dan niat puasa nadzar, sebagian ulama berpendapat bahwa puasanya batal dengan niat tersebut.

Adapun mengumpulkan antara niat puasa sunnah dan wajib, seperti puasa qadha’ Ramadhan dengan niat puasa Syawal, masih diperselisihkan oleh para ulama. Namun sebaiknya hal itu ditinggalkan.

(Ringkasan ini ditulis oleh Syaikh Hamid Al-‘Athor. Tulisan diterjemahkan dari situs www.islamonline.net oleh team redaksi www.ululalbablampung.com)

Selesai…

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *