Seorang hamba dituntut untuk banyak melakukan taubat dan istighfar, mengingat banyaknya dosa dan kesalahan yang dilakukan baik dimalam dan siang hari.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِـيْ آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Setiap anak Adam pasti memiliki salah dan dosa. dan sebaik-baik orang-orang yang berbuat salah ialah orang-orang yang bertaubat.[Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2499)]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَاللهِ إِنِّـيْ َلأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِـي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
Demi Allah, aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali. [HR. al-Bukhâri (no. 6307)]
Setiap anak Adam wajib bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dengan taubat yang jujur. Setiap orang yang bertaubat dari perbuatan dosa dan maksiat hendaknya ia memenuhi syarat-syarat taubat, yaitu:
1. Al-Iqlâ’ (berhenti dari dosa),
yaitu orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini pernah ia lakukan.
2. An-Nadam (menyesal),
yaitu dia harus menyesali perbuatan dosanya tersebut.
3. Al-‘Azmu (tekad),
maksudnya, ia harus bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya itu.
Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, masih ditambah satu syarat lagi yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak orang yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf. Dan jika berupa ghîbah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak perlu meminta maaf kepada orang yang diumpat.[Lihat Riyâdhush Shâlihîn bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahîh al-Wâbilush Shayyib (hlm. 272-273)]
Wallahu A’lam bish showab.