Rukun ijma’ (ijmak)

Dalam pelaksanaan ijma’ harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Adapun diantara rukun ijma’ adalah:
1.    Adanya kesepakatan.
Kesepakatan secarabahasa  adalah hendaknya pendapat seseorang sesuai dengan pendapat yat yang lain. Sedangkan yang dimaksud disini adalah kesamaan pendapat baik dalam keyakinan, perkataan maupun perbuatan.  (Usul fikih al-islami dr wahbah zuhaili 1/491)
2.    Mujtahid
Yaitu orang yang memiliki  kapabilitas dalam menyimpulakan hukum syar’I dengan menggunakan kaidah-kaidah usul dan menjadikannya sebagai alat untuk memahami sebuah hukum. (Al-wajiz fi usul fikih dr wahbah zuhaili 13.)  Iamam ghozali memeberuikan pengertian tentang mujtahid yaitu setiap mujtahid yang ditewrima fatwanya. (Al-mustashfa 1/115.)  Terkadang mujythid juga disebut seorang yang fakih tau ahli ro’yu dan ijtihad atau ahlul halli wal aqdi.
Sebagian ulama menambahkan dalam rukun ijma’ ada empat perkara, diantaraya”
1. Ada sejumlah mujtahid ketika berlangsungnya kejadian yang membutuhkan ijma’, karena ijma’ tidak akan terwujud bila yang melakukan ijma’ hanya seorang muhtahid saja.
2. Semua mujtahid dari berbagai golongan dan belahan dunia sepakat tentang hukum suatu masalah. Apabila kesepakatan itu hanya terwujud di kalangan sebagian mujtahid atau wilayah atau kelompok tertentu, seperti kesepakatan mujtahid Hijaz atau mujtahid Irak saja, maka kesepakatan tersebut tidak dapat disebut sebagai ijma’, karena ijma’ hanya tercapai melalui kesepakatan seluruh mujtahid.
3. Kesepakatan tersebut terwujud setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat tentang suatu masalah secara terang-terangan. Pendapat itu dikemukakan melalui ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang suatu masalah hukum atau melalui perbuatan dengan menetapkan putusan di pengadilan dalam kedudukannya sebagia hakim.
4. Kesepakatan tentang hukun suatu masalah berasal dari semua mujtahid secara utuh. Apabila kesepakatan berasal dari mayoritas mereka saja dan sebagian kecil mereka tidak menyetujuinya, maka ijma’ tidak dikatakan telah terwujud. Jadi kesepakatan mayoritas ulama semata tidak dapat dijadikan sebagai hujjah yang bersifat qath’i. Meskipun demikian, Jumhur ulama dalam hal ini memandang sah bila ijma’ berasal dari kesepakatan mayoritas mujtahid. (Usul fikih al-islami dr wahbah zuhaili 1/537.)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *