Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Permasalahan hilal (bulan), memang permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat, apabila bulan telah terlihat oleh suatu negara maka itu berlaku untuk semua negara. Pendapat ini dianut oleh sebagian madzhab Maliki. Dikatakan oleh beliau, “Apabila bula telah terlihat maka itu berlaku untuk umum.” Yaitu, berlaku untuk semua negara apabila disaksikan oleh dua orang yang adil. Jika bulan telah terlihat dan telah ditetapkan di suatu tempat, maka rukyat ini berlaku untuk umum.
Pendapat Kedua: Bahwa setiap negara berbeda, penentuan awal Ramadhan di suatu negara tidak ditentukan oleh rukyat hilal di negara lainnya. Pendapat ini yang banyak dianut oleh para ulama.
Pendapat ini berdasar pada perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang terdapat di dalam Shahih Muslim dengan nomer hadits 1087 pada bab, “Setiap negara tergantung oleh rukyatnya masing-masing”. Diriwayatkan dari Karib, bahwa Ummu Fadhl binti Al-Harits telah mengutusnya untuk menemui Mua’wiyah radhiya Allahu ‘anhu di Syam. Ia berkata, “Saya datang ke Syam dan aku pun menyelesaikan keperluanku. Ketika itu datang bulan Ramadhan, sementara aku masih di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Pada akhir bulan, aku datang ke Madinah. aku pun bertemu dengan Abdullah bin Abbas. Ia bertanya kepadaku, “Kapan kamu melihat hilal?” Aku pun menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Ia kembali bertanya, “Kamu benar-benar melihatnya?” Aku menjawab, “Benar, dan orang-orang pun melihatnya. Mereka dan Mua’awiyah pun berpuasa.” Lalu ia berkata, “Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu, sehingga kami menyempurnakan puasa menjadi tiga puluh hari.” Aku pun balik bertanya, “Apakah tidak cukup dengan rukyat dan puasa yang dilakukan oleh Mu’awiyah radhiya Allahu ‘anhu?” Ia pun menjawab, “Tidak, beginilah dulu Rasulullah saw. memerintahkan kami.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak berlaku untuk yang jauh, terlebih apabila waktu di suatu negara tidaklah sama. Bisa jadi rukyat itu sudah dilihat oleh suatu negara sebelum terlihat di negara lain.
Pendapat ketiga: Penentuan awal Ramadhan dengan hisab sudahlah final sehingga ia berdasar kepadanya. Ia menggunakan hisab untuk menentukan awal Ramadhan. Pendapat ini dianut oleh lembaga-lembaga Islam Eropa.
Permasalahan ini sangat komplek, Insya Allah. Karenanya, sangat memungkinkan bagi mereka untuk berpuasa bersama negara Saudi, atau bersama negara lain apabila rukyat telah dilakukan secara syar’i. Sebagaimana juga sangat memungkinkan bagi mereka untuk mengikuti rukyat hilal di negara mereka atau suatu tempat yang dekat dengan negara mereka. Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa rukyat hilal yang dilihat di suatu negara tidak berlaku untuk negara lain. Atau bisa juga memanfaatkan ilmu falak dan teropong, karena pada masa sekarang perkembangan ilmu ini sangat pesat.
Dengan demikian, karena permasalahannya sangat komplek, hendaknya kaum muslimin tidak berselisih. Bagi mereka yang mengikuti pendapat bahwa rukyat di suatu negara tidak berlaku untuk negara lain, maka sungguh ia telah mengikuti pendapat yang kuat. Bagi yang mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa rukyat bulan di suatu negara berlaku untuk negara lain, maka itu adalah pendapat yang baik pula. Dan barangsiapa mengikuti hisab ilmu falak untuk menentukan awal ramadhan atau untuk memperkuat rukyatnya, maka ini juga merupakan dalil baru yang sering digunakan oleh dewan tarjih.
Hanya saja, apabila hilal telah benar-benar terlihat lalu orang yang melakukan hisab meyakini bahwa bulan belum terlihat, maka kita tidak boleh bersandar kepada hisab ilmu falak. Apabila sekelompok orang telah melihat bulan, maka kita harus mengedapankan rukyat bulan atas hisab ilmu falak.
Demikian ringkasan bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan penentuan awal Ramadhan. Oleh karenanya, janganlah kaum muslimin berpecah belah dan berselisih. Tapi, hendaknya mereka membahasnya secara bersama-sama dan bersepakat pada salah satu cara penentuan awal Ramadhan, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, karena semuanya berasal dari kitab-kitab para ahli ilmu.
(Artikel ini ditulis oleh Al-‘Alamah Abdullah bin Baih, Ketua Markaz Al-‘Alam lit Tajdid wat Tarsyid. Artikel diterjemahkan oleh team redaksi www.ululalbablampung.com dari www.islamonline.net pada Selasa (26/07).)