JIHADUN NAFS
Tips Menjadi Generasi Robbani
Oleh: Ibnu Rasidin*
Jika kita membuka kamus bahasa arab kata jihad adalah berasal dari kata Jahada – yajhadu – jahdan yang artinya kemampuan, daya dan upaya serta kerja keras untuk mencapai tujuan. (Kamus Mishbahul Munir Al-Ishriyyah:1/62). Apabila kata ini berdiri sendiri (di dalam al-Qur’an atau Hadits) sebagai predikat dan diiringi dengan kata fi sabilillah, kata itu memiliki makna perang yang sebenarnya. Apabila kata jihad disandarkan kepada sebuah kata, artinya mengikuti kata yang menjadi sandarannya. Sementara kata an-nafs atau nafsu memiliki asal kata, pertama, nafisa – yanfasu – nafasan bermakna capek seperti, wanita yang haidh, kedua, nafusa – yanfusu artinya mulia, hormat. Sedangkan kata nafsun artinya darah dan darah disebut nafsu karena dia adalah sebutan untuk binatang (dan manusia salah satu jenis binatang) yang tegaknya bersandar pada darah. (Kamus Mishbahul Munir Al-Ishriyyah:1/317)
Dari pengertian kata di atas, jihadun nafs dapat diartikan sebuah upaya sungguh-sungguh sampai dapat menundukkan nafsu. Yang dimaksud adalah tunduk dan patuh kepada yang menciptakanya, karena Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” QS. Adz-Dzariyat:65. Pekerjaan ini (menundukkan hawa nafsu) memang bukan amalan yang paling tinggi, tetapi dari sinilah seorang mukmin memulai karirnya menuju ketinggian derajat di sisi Allah Ta’ala.
Mukmin yang jujur tidak pernah kehilangan kesempatan untuk berbuat baik dan meraih ridha Allah sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Ketika musuh mengira bahwa dirinya mampu menutup pintu kebaikan untuk si mukmin, pada hakekatnya itu adalah satu tanda pintu-pintu kebaikan sebentar lagi terbuka lebar baginya. Karena seorang mukmin punya prinsip; “Sesungguhnya Allah Ta’ala bersama orang-orang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik (kepada orang lain).” QS. An-Nahl:128 dan Rasulullah saw bersabda:
“Jujur itu akan menunjukkan jalan kepada kebaikan dan kebaikan itu akan menunjukkan jalan ke jannah.” HR. Muslim no.2607
Tidak ada jalan yang menghantarkan kepada jannah Allah melainkan jalan itu adalah pintu kebaikan. Demikian pula jihad, yang merupakan amalan tertinggi di dalam islam. Tidak mungkin jihad akan dapat ia laksanakan atau ia dapatkan pahalanya tanpa menempuh jalurnya. Dan seorang mukmin pasti merindukan amalan yang amat tinggi ini, minimal ia mengazamkannya. Jika tidak, bisa jadi di dalam dirinya ada kemunafikan, karena Rasulullah bersabda:
“Barang siapa mati dan ia belum berperang (jihad) dan tidak terbetik dalam jiwanya untuk berperang, dia mati di atas salah satu cabang kemunafikan.” HR. Muslim no.1910
Tetapi jika Allah mentakdirkan hari ini kita hidup bukan di wilayah konflik dalam arti bumi jihad sebagaimana yang terjadi di Suriah, Afghanistan, Irak, dan lain sebagainya, apa yang akan kita lakukan… ? apa… ?
Ketika ada yang tidak tahu apa yang harus dilakukan, mukmin yang jujur akan mengatakan, pasti ada fron jihad lain yang Allah buka untuknya, salah satunya adalah jihadun nafs (perang melawan nafsu) sebagai tangga menuju ketinggian amal.
Bukan kapan bisa berada di medan jihad yang kita risaukan atau kita gelisahkan, tetapi sudahkan kita mengarahkan kendaraan kita kepada jalur yang benar di mata Allah Ta’ala. Sebab pepatah mengatakan;
“Barang siapa yang berjalan di atas jalurnya, dia pasti sampai tujuan.” Bahkan Rasulullah bersabda:
“Barang siapa minta kepada Allah mati syahid dengan jujur, pasti Allah akan mengantarkannya kepada derajat para syuhada, meskipun mati di atas ranjangnya.” HR. Muslim 5039, Abu Dawud 1522, At-Tirmidzi 1653
Sama…!, barang siapa yang sungguh-sungguh ingin berjihad, dia akan terlebih dahulu perang mengalahkan nafunya. Karena jiwa adalah musuh yang paling dekat dan melekat. Jika seseorang mampu mengalahkan nafsunya, dia telah memiliki bekal melawan musuh besarnya. Ketika ia tidak mampu melawan musuh pada dirinya, ini menunjukkan imannya belum sempurna. Rasulullah saw bersabda:
“Tidak sempurna iman seseorang sehingga dia mampu menaklukkan nafsunya kepada apa yang aku bawa.” Imam An-Nawawi berkata, hadits ini tidak terdapat di dalam kutubus sittah, hadits ini terdapat di dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad hasan shahih dan kitab Arba’in An-Nawawi.
Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa jihad ada empat tahapan dan yang pertama jihadun nafs (perang melawa hawa nafsu), kemudian jihad syaithan, jihad melawan orang kafir, dan orang fasiq. Beliau melanjutkan, jihad nafsu terdiri dari empat tahapan;
Pertama; Berjihad (bersungguh-sungguh) mempelajari petunjuk dan dien yang benar ini.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” QS. Al-Isra’:36
Karena amal itu tidak akan sampai tujuan kecuali amal itu benar dan ukuran kebenaran adalah ilmu. Allah Ta’ala tidak akan menerima amal yang pelakunya tidak tahu atas dasar apa dia berbuat, sehingga ilmu adalah pintu ikhlas yang berbuah khasyah. “Sesungguhnya hanya yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang berilmu.” QS. Fathir:28
Prinsipnya, bagaimana kita bersungguh-sungguh menerapkan kaidah yang terdapat dalam ayat di atas. Dikuatkan lagi perintah untuk berbuat dan berkata sesuai perintah. Sebab perbuatan dan perkataan tidak memiliki timbangan amal shaleh di sisi Allah jika tidak ada landasannya. Rasulullah bersabda:
“Barang siapa beramal dengan tanpa ada perintah kami, amal tersebut tertolak.” HR. Al-Bukhari no.7349, Muslim no.1718
Hadits ini memberi isyarat kepada kita betapa pentingnya ilmu sebelum kita melangkah untuk beramal baik amal itu berupa perkataan atau perbuatan anggota badan dan ini membutuhkan kesungguhan. Sebab konsekwensinya adalah nasib kita di akhirat kelak, antara amal kita diterima oleh Allah atau ditolak. Dan Imam Bukhori menegaskan; “Ilmu itu sebalum berkata dan beramal.” Shahih Al-Bukhari:1/49 sehingga tidak ada celah bagi nafsu untuk menyetir langkah kita.
Kedua; Berjihad (bersungguh-sungguh) dalam mengamalkan ilmu yang diketahuinya
Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Seorang berilmu dikatakan ‘alim atau tahu ketika ia mengamalkan ilmunya dan sangat besar kemurkaan Allah kepada orang-orang yang berilmu tetapi ia tidak mengamalkannya. Beramal butuh kesungguhan, sebagaimana isyarat sabda nabi saw;
“… dan bahwasannya amalan-amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit.” HR. Al-Bukhari no.6464 Kata-kata konsisten dalam hadits di atas memberi isyarat bahwa kita harus sungguh-sungguh agar dapat menjaga amal, keberlangsungannya, dan kualitasnya.
Syeikh Abdullah Azzam berkata; “Kekuatan hati seorang mukmin datang melalui amal-amal shalih. Adapun kelemahan hati datang melalui perbuatan-perbuatan yang mencelakakan imoralitas dan keburukannya.” (Tarbiyah jihadiyah:1/296) kemudian beliau melanjutkan dengan nukilan ayat “Dan (Hud berkata), “wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb-mu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” QS. Hud:52 Maka ketika seorang mukmin melaksanakan apa yang dia ketahui dan mengerjakannya sesuai ilmu, pada saat itu keinginan nafsu akan tertolak.
Ketiga; Berjihad (bersungguh-sungguh) untuk mendakwahkan islam dan mengajarkannya kepada yang belum mengetahuinya.
Dakwah islam mengajak manusia kepada jalan Allah adalah tugas setiap muslim dan satu sama lain memiliki hak untuk mendapatkan peringatan. Dakwah dilakukan dengan memerintahkan atau mengajak manusia kepada kebaikan atau mengingatkan manusia dari keburukan dan langkah ini akan melemahkan peran nafsu pada diri mukmin. Karena satu sama lain akan saling menguatkan untuk tetap di atas ketaatan dan kebenaran. Apabila ada yang meninggalkan amal ini dia disamakan seperti orang yang menyembunyikan ilamu sehingga ilmunya tidak bermanfaat.
“Barang siapa menyembunyikan ilmu yang ia ketahui, pada hari kiamat Allah akan mencambuknya dengan cambuk api neraka.” HR. Ibnu Majah dalam shahihnya no. 96
Dan tidaklah seseorang berhenti berdakwah melainkan karena nafsunya telah mengalahkan hatinya sehingga selera di hatinya mengikuti selera nafsunya.
Keempat; Berjihad (bersungguh-sungguh) untuk bersabar di atas pahit getirnya jalan dakwah menuju Allah
Sabar merupakan satu dari dua bagian tiang penyangga iman sehingga tanpa sabar iman seseorang bisa cacat karenanya. Itulah yang tercantum dalam firman Allah; “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” QS. As-Sajdah:24
Tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang lebih utama dan baik dari Muhammad Rasulullah. Kendati demikian, beliau bersama sahabatnya ditimpa ujian berupa kekurangan, kesempitan, dan kegoncangan sampai beliau berucap, “kapan pertolongan Allah datang.” QS. Al-Baqoroh:214 tetapi sikap para rasul belum sampai pada tingkat putus asa, karena “sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir.” QS. Yusuf:87 dari sini kita mengerti bahwa tidak ada artinya daya, upaya, kerja keras yang kita curahkan dan belum seberapa kesedihan, kepedihan, kesempitan, dan kgoncangan yang kita sabar menghadapinya ketika kita menatap, mengharap, dan mendapat rahmat Allah, karena dengan rahmat-Nya pelebur seluruh kesulitan dan kelelahan (jannah) akan kita dapatkan. Sabar di atas jalan yang benar adalah obat paling mujarab menangkal gejolak nafsu yang tidak menginginkan kecuali keburukan.
Barang siapa yang melaksanakan keempat hal di atas, dia disebut generasi robbani. (Syarh Ushulu Ats-Tsalatsah:15) semoga kita dimudahkan untuk meniti jalan yang lurus. Amin
* Penulis adalah Alumni Ma’had Aly An-Nuur Surakarta jurusan Aqidah
(Posted By: Tim Pondok Pesantren Islam Ulul Albab Lampung)